Para Tokoh/Pahlawan


1. Raden Dewi Sartika

Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

 

2. Raden Ayu Lasminingrat


Tokoh perjuangan wanita seperti Dewi Sartika, R.A Kartini, Cut Nyak Dien dsb sangat akrab di telinga kita. Mulai dari SD hingga kuliah pun kita mendengar nama pahlawan nasional yang mengharumkan nama bangsa. Tapi tahukah kamu sosok pejuang wanita sebelum mereka. Yang mungkin namanya terasa asing di telinga terutama bagi saya karena di dalam pelajaran sejarah pun seingat saya tidak pernah di cantumkan nama Raden Ayu Lasminingrat.

Empat tahun sebelum Raden Dewi Sartika lahir, Raden Ayu Lasminingrat sudah fasih menulis buku untuk bacaan anak-anak sekolah. Ketika R.A. Kartini lahir tahun 1879, Raden Ayu Lasminingrat sudah menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang dijadikan buku bacaan wajib di HIS, Schakelschool, dan lain-lain, hingga akhir masa penjajahan Belanda.

Raden Ayu Lasminingrat lahir tahun 1843, putri seorang Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda yang terkenal pada zamannya, yaitu Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Setelah itu lahir pula dua orang adik perempuan yang seibu se-ayah, yaitu Nyi Raden Ratnaningrum dan Nyi Raden Lenggang Kencana. Dalam sebuah buku kajian tentang perjuangan Raden Ayu Lasminingrat karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, M.S., diutarakan bahwa Raden Haji Muhamad Musa sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia menghendaki putri-putrinya yang berjumlah 17 orang dari beberapa isteri itu, bersekolah di sekolah Belanda.

Oleh karena saat itu belum ada sekolah semacam itu di Garut, maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa (bijzondere Europeesche School) dengan menggaji dua orang guru Eropa. Di sekolah ini orang Eropa (Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan anak-anak pribumi, juga anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan.

Alhasil, kemampuan Raden Ayu Lasminingrat dalam berbahasa Belanda sangat fasih, bahkan Karel Frederick Holle, seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya. Pujian itu dinyatakan dalam surat Holle kepada P.J. Veth, antara lain menyebutkan Bahwa: “Anak perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda” (Moriyama, 2005:244).

K.F. Holle memang sangat dekat dengan anak-anak Raden Haji Muhamad Musa,termasuk dengan Lasminingrat, bahkan tak segan-segan, Lasmingrat “nembang” di depan K.F. Holle, yang kadang dipanggil sebagai “Tuan Kawasa” (lubis, 1998). Peranan K.F. Holle dalam merevitalisasi bahasa Sunda sangat besar, terbukti dengan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Sunda, memberikan dorongan kepada kaum menak untuk menuliskan karya-karya mereka dan menerbitkannya. Dalam buku tersebut diceritakan, Lasmingrat juga terlibat dalam “proyek” menyusun buku-buku pelajaran Sunda dengan diberi biaya f. 1200 dari Pemerintah Belanda.

Pada tahun 1875, Raden Ayu berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda, karya Christoph von Schmidt, Hendrik van Eichenfels, versi Belanda diterjemahkan dari bahasa Jerman tahun 1883. Judulnya menjadi Tjarita Erman yang ditulis dalam aksara Jawa, dicetak 6.015 eksemplar. Kemudian pada tahun 1911 terbit edisi dua, juga dalam aksara Jawa. Dan tahun 1922, terbit edisi ketiga, ditulis dalam aksara Latin.

Selanjutnya, tahun 1876, Lasminingrat menulis buku Warnasari atawa Rupa-rupa Dongeng, yang diterjemahkan dari karya Marchen von Grimm dan J.A.A Goeverneur, Vertelsels uit het Wonderland voor Kinderen, Klein en Groot (1872), dan beberpa cerita lainnya, ditulis dalam aksara Jawa. Tahun 1903 dan 1907 terbit edisi dua dan tiga. Tahun 1887, menulis Warnasari, Jilid 2 ditulis dalam aksara Latin, selanjutnya dicetak edisi kedua tahun 1909.

Bakat Raden Ayu Lasminingrat dalam mengarang, tak pelak lagi diwarisi dari ayahnya yang juga seorang sastrawan terkemuka, yang menghidupkan kembali bahasa Sunda di kalangan menak Sunda, termasuk warisan bakatnya diturunkan kepada Raden Kartawinata dan Raden Ayu Lenggang Kencana. Dari beberapa karyanya, Raden Ayu Lasmingrat dalam membuat terjemahan dengan cara menyadur sehingga cerita asing itu menjadi “membumi”, antara lain nama-nama para tokoh yang berbau pribumi (misalnya : “Erman”, “Ki Pawitra”) atau memberi warna Islami. Selain itu, dalam karyanya mencoba menanamkan rasionalisme dalam dunia pribumi yang masih beralam tradisional yang diwarnai takhayul. Tidak hanya itu, raden Ayu Lasminingrat juga mengedepankan soal pengetahuan dasar, baik itu tentang ilmu pengetahuan alam yang sangat dasar tentang sumber air (mata air, hujan), tentang cahaya (matahari dan lampu), tumbuh-tumbuhan, termasuk bagaimana mengajarkan tentang ke-Tuhan-an.

Raden Ayu Lasmingrat pun adalah pengarang wanita pertama dalam bahasa Sunda, yang menggunakan kata ganti orang pertama. Ia memakai kata “Koela” (artinya “saya”). Biasanya pada saat itu para pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga dalam karangan-karangannya. Ini menunjukkan bahwa Raden Ayu Lasminingrat, meski memiliki hubungan erat dengan orang-orang Belanda, namun ia bisa menunjukkan integritasnya sebagai seorang pribadi intelektual, sekaligus kepeloporannya dalam dunia satra.

Peran Raden Ayu Lasmingrat dibuktikan dengan didirikannya Sakola Kautamaan Istri tahun 1907, dengan mengambil tempat di ruang gamelan Pendopo Garut. Kemudian seiring dengan pergantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut Tahun 1913. Dua tahun setelah pergantian nama, R.A.A. Wiaratanudatar VIII pensiun, setelah menjadi bupati sejak tahun 1871. Jabatan Bupati Garut kemudian dipangku oleh R.A.A. Suria Kartalegawa, yang masih terhitung keponakannya. Akhirnya Raden Ayu Lasmingrat pindah dari pendopo ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang Jalan Siliwangi). Rumah yang besar ini (sekarang menjadi Yogya Department Store). Hingga usia 80 tahun ia masih aktif, meskipun tidak langsung dalam dunia pendidikan.

Pada masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri itu diganti namanya menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima laki-laki. Sejak tahun 1950, SR tersebut berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Daerah Tingkat II Garut. Tahun 1990-an hingga kini berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.

 

3. KH. Zainal Mustofa

Lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meinggal di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.

Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.

Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.

Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.

Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

Perlawanan kepada penjajah

Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.

Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.

Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.

Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.

Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.

Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.

Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.

Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.

Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.

Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

 

4. Kapten Tubagus Muslihat

Belum banyak orang tau, apabila jalan Kapten Muslihat yang setiap harinya tidak pernah dilalui kendaraan bermotor dan pejalan kaki itu ternyata menyimpan nilai sejarah tentang gugurnya seorang pejuang muda di masa revolusi, bahkan karena perjuangan dan pengorbanannya, selain nama besarnya diabadikan menjadi nama jalan tersebut, dibagian jalan lain tersebut didirikan pula monumennya, itulah monumen yang selama ini kita kenal sebagai Kapten Muslihat. Akan tetapi tahukah anda, siapa kapten Muslihat itu ?

Tubagus Muslihat lahir di Pandeglang, hari Senin tanggal 26 oktober 1926, bertepatan dengan terjadinya aksi pemogokan buruh komunis yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Pendidikan formal Tb Muslihat diawali dari HIS Rangkas Bitung, akan tetapi, hanya sampai

kelas 3, karena ia harus ikut pindah bersama orang tuanya ke Jakarta. Di Jakarta ia melanjutkan kembali pada tingkat sekolah yang sama hingga selesai.

Tamat dari HIS tahun 1940. kemudian dilanjutkan ke MULO sampai kelas 2. Sekeluarnya dari MULO, Tb Muslihat bekerja di BOSBOW Proefstasiun (Balai Penelitian Kehutanan) yang terletak di Gunung Batu Bogor, akan tetapi baru sebulan kerja disana, terjadi perang Pasifik, perang yang memaksa tentara dan pemerintahan Belanda menyerah kepada Jepang.

Sejak saat itu, tepatnya tahun 1942, kota Bogor dikusai oleh Dai Nippon. Sejalan dengan itu, Tb Muslihat berpindah kerja ke Rumah Sakit Kedung Halang Bogor, dan menjadi juru rawat, tetapi tidak lama kemudian pindah lagi ke jawatan kehutanan.

Situasi Kota Bogor dibawah kepemimpinan Dai Nippon tidak lebih baik dari  Pemerintahan Jepang dikenal dengan pemerintahan militer, segala kebijakan diserahkan kepada pucuk pimpinan angkatan perang di daerah kekuasannya masing-masing, garis kebijakan dibicarakan langsung dengan Markas Besar Angkatan perang, sedangkan pelaksanaan dari kebijakan tersebut sepenuhnya berada ditangan mentri pertahanan dan para Panglima Daerah pendudukannya masing-masing, hal semacam ini sudah merupakan watak dari penjajah.

Seiring dengan didirikannya tentara pembela tanah air PETA pada bulan oktober  Tb Muslihat meninggalkan pekerjaannya, ia mendaftarkan diri menjadi  tentara sukarelawan Pembela Tanah Air PETA, setelah melalui beberapa test, Tubagus Muslihat berhasil lulus dan diterima sebagai tentara PETA dengan pangkat, ia dimasukan kedalam kategori pemuda-pemuda cakap dan berani, emudian dipilih menjadi  Shudanco (komandan Seksi atau peleton) bersamaan dengan Ibrahin Ajie, M Ishak Juarsa, Rahmat Padma, Tarmat, Suwardi, Abu Usman,Rojak dan Bustami.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang dibom oleh tentara sekutu, pada saat itu sikap tentara jepang tampak kebingungan, Seluruh anggota PETA yang ada di Asramanya langsung dibubarkan oleh tentara Jepang, dengan catatan senjata dan peralatan perang lainnya harus ditanggalkan, namun demikian ada juga beberapa orang yang berhasil keluar dari asrama tersebut dengan membawa senjata dan pedang, salah satunya adalah Shudanco Muslihat.

Dengan bermodalkan senjata curian itulah kapten Muslihat bersama rekan-rekannya meneruskan perjuangannya dan ikut bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang bekerjasama dengan organisasi API, AMRI, KRIS dab PESINDO, disamping tugas mereka menjaga keamanan didalam kota, gerakan yang merwka lakukan pun berusaha mengumpulkan dan merebut senjata dari tangan Jepang.

Selanjutnya perjuangan mereka lebih meluas dengan merebut kantor-kantor yang di duduki tentara Jepang hingga menjadi milik Republik Indonesia. Karena Kapten Muslihat sangat dikenal sebagai seorang komandan yang tegas, maka perintahnyapun selalu dikuti oleh seluruh anak buahnya.

Pada tahun yang sama 1945. secara de jure dan de facto pemerintahan Republik Indonesia resmi didirikan di kota Bogor, pada saat itu BKR dibubarkan dan dirubah menjadi Tentara Keamanan

Rakyat (TKR) oleh Jenderal Urip Sumoharjo, sedangkan Tubagus Muslihat diangkat menjadi Kapten dan ditugaskan sebagai komandan Kompi IV Batalion II TKR.

Pada bulan Oktober 1945, situasi kota Bogor sangat genting, tentara Inggris dan Gurkha memasuki daerah Bogor, ditunggangi oleh tentara NICA, pertama kali yang mereka datangi adalah tengsi Batalyon XVI bekas tentara jepang yang memang sudah di kosongkan, merasa sudah kuat, tentara Inggris dan Gurkha melebarkan kekuasaannya dengan menduduki Kota Paris, tempat nyonya-nyonya dan anak-anak Belanda (RAOPWI) dikumpuilkan. Dlam waktu singkat dan tanpa melalui proses peperangan Kota Paris dapat direbut dengan mudah oleh tentara Inggris dan dijadikan wilayahnya,

Kadaan di dalam kota Bogor saai itu semakin kacau, tentara Inggris ternyata lebih sombong daripada Belanda, mereka mencoba merebut Istana yang waktu itu dijaga ketat oleh pemuda-pemuda Bogor. Dalam situasi yang cukup panas itu, perundingan antara pembesar kota Bogor dan Inggris segera dilakukan, tetapi perundingan itu gagal, tentara Inggris berhasil memasuki istana Bogor. dengan berat hati pejuang-pejuang Bogor meninggalkan Istana.

Akibat sikap tentara Inggris  yang menyakitkan hati rakyat, maka pada tanggal 6 Desember 1945, seluruh masyarakat Bogor mengadakan pemberontakan, kendati hanya bersenjatakan bambu runcing, golok, pedang dan persenjataan alakadarnya, akan tetapi peperangan berlangsung sengit dan menggetarkan, terutama disekitar Istana Bogor dan Kota Paris.

Ditengah situasi Kota Bogor yang kian memanas dan berbau maut itu, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan kemarkas-markas yang diduduki tentara Inggris dan Gurkha, padahal waktu itu istri kapten Muslihat dalam keadaan mengandung, makanya setiap kali akan melakukan peperangan kapten yang berusia relatif muda itu selalu berpesan kepada istrinya supaya ia dapat menjaga sijabang bayi, bahkan untuk menghibur dan menenagkan hati istrinya kapten muslihat sering berkata apabila kelak anaknya lahir akan ia beri nama merdeka.

Hingga suatu hari yang nahas, tepatnya tanggal 25 Desember 1945, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan kekantor Polisi yang terletak di jalan Banten (sekarang jalan Kapten Muslihat), dalam penyerangan tersebut ikut turut pula Gustiman (adik kandung kapten Muslihat).

Kontak senjatapun terjadi mewarnai penyerangan itu. Akan tetapi pertahanan tentara Inggris dan Gurkha sangat kuat. Merasa kesal karena serangan yang dilakukannya belum dapat mematahkan kekuatan musuh, maka kapten Muslihat keluar dari tempat persembunyian dan melakukan pennyerangan penyerangan secara terbuka.

Awalnya serangan yang dilancarkan ditempat terbuka memang banyak mengakibatkan beberapa pihak musuh ambruk diterjangan peluru yang dimuntahkan dari senjatanya. Akan tetapi tiba-tiba sebutir peluru dari pihak musuh mengenai bagian perutnya. Darah mengucur dari perut kapten muslihat. Seperti banteng terluka, kapten Muslihat terus menyerbu menembaki musuhnya hingga ia tidak memperdulikan lagi berapa peluru yang sudah bersarang ditubuhnya akibat serangan balik yang dilancarkan yang dilancarkan musuh.

Melihat kondisi yang menyakitkan dan menyayat hati siapapun yang melihatnya. Gustiman memburu kearah kapten Muslihat dan berusaha untuk menolongnya, tetapi kapten muslihat memerintahkan supaya adiknya menyingkir dari lokasi tersebut, ia khawatir akan semakin menambah korban, sampai ketika sebuah peluru lagi menerjang bagian punggungnya, barulah seketika itu tubuh Kapten Muslihat jatuh tersungkur mencium bumi, darah segar bersimbah memenuhi badannya, dfan kaos oblong putih polos yang dikenakannya berubah menjadi merah.

Sekalipun sangat sulit untuk menarik tubuh kapten Muslihat dari arena pertempuran karena terus menerus dihujani peluru, tapi berkat kesigapan PMI dan pasukan yang dipimpinnya, akhirnya tubuh kapten muslihat berhasil juga ditarik keluar dari arena pertempuran dan diboyong kerumahnya yang terletak di Panaragan.

Sebelum menghebuskan napas terakhirnya, Kapten Muslihat berwasiat kepada istri dan keluarganya, supaya uang simpanannya yang berjumlah Rp 600 (uang kertas Jepang) disedekahkan kepada fakir miskin, sedangkan kepada kolega dan beberapa anak buahnya beliau berpesan agar meneruskan perjuangannya.”Kita pasti menang dan Indonesia pasti merdeka!!!. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar” seiring dengan berakhirnya takbir tersebut, tubuh kapten Muslihat mengejang dan diam tak bergerak untuk selamanya, inalilahi wainailahi rojiun. Peninggalkan kapten Muslihat disaksikan oleh Dr Marjuki Mahdi.

 

5. Raden Oto Iskandar Dinata

Lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Awal kehidupan

Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.

Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.[1]

Pra kemerdekaan

Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 19211924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad (“Dewan Kota”) Pekalongan mewakili Budi Utomo.

Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 19291942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.

Oto juga menjadi anggota Volksraad (“Dewan Rakyat”, semacam DPR) yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 19301941.

Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Oto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok orang yang bernama Laskar Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.

Pahlawan nasional

Wajah Oto Iskandar di Nata sebagaimana tertera dalam lembaran Rp. 20.000,-.

Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama “Monumen Pasir Pahlawan” didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.

Nama Oto Iskandar Dinata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.

4 Tanggapan to “Para Tokoh/Pahlawan”

  1. Serenada September 24, 2011 pada 12:18 pm #

    terimakasih atas informasinya 🙂

  2. Rika Oktober 17, 2011 pada 12:30 pm #

    kaka tolong ada bahasa Sundanya please…!!

    terimakasih kaka………:)

    • Dewi Permatasari :) Oktober 25, 2011 pada 4:11 am #

      aduh, kebetulan lahir di jakarta dan belum terlalu mahir berbahasa sunda :p hehe sekali lagi maaf yaa 🙂

Tinggalkan Balasan ke Dewi Permatasari :) Batalkan balasan